Tuesday 14 January 2014

Implikasi Dan Implementasi Filsafat Ilmu Di Dalam Pengembangan Keilmuan Dan Kepada Cara Kerja Para Ilmuwan



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Permasalahan
Konsep dasar fifsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta kaitannya dengan impfementasi kehidupan sehari-hari. Berikutnya dibahas pula tentang karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu, filsafat dan agama. Pembahasan filsafat ilmu juga mencakup sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pofa pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan aksiologis. Selanjutnya dikaji mengenai makna, implikasi dan impfementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan keilmuan dan kepada cara kerja para ilmuwan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, balk pendekatan kuantitatif dan kualitatif, maupun perpaduan kedua-duanya.

B. Tujuan
Dalam pokok bahasan ini akan diuraikan:
1.          Bagaimana Implikasi dan implementasi filsafat ilmu di dalam pengembangan keilmuan.
2.          Bagaimana Implikasi dan impfementasi filsafat ilmu dan kepada cara kerja para ilmuwan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Implikasi
Beradasarkan kamus besar Bahasa Indonesia implikasi diartikan sebagai keterlibatan atau keadaan terlibat: manusia sbg objek percobaan atau penelitian semakin terasa manfaat dan kepentingannya.

B.  Implementasi
Beradasarkan kamus besar Bahasa Indonesia implementasi diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.

C. Fifsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah fainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya fifsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu "ada" yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontofogik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah "ada" (being, sein, het zijn) itu. lnilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

D. Filsafat Ilmu Dalam Pengembangan Keilmuan
Filsafat ilmu merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dalam hal ini filsafat ilmu berperan sebagai pengkaji berbagai hakikat keilmuan. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang menjadi sebuah bahan kajian oleh filsafat ilmu, dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan filsafat ilmu mempunyai beberapa macam cara diantaranya yaitu ontologi, terminologi dan aksiologi. Dari beberapa cara tersebut masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda, ontologi berfungsi untuk mengetahui apa yang dikaji dalam ilmu pengetahuan tersebut, sedangkan terminologi berfungsi untuk mengetahui bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan tersebut, dan yang terakhir yaitu aksiologi berfungsi untuk mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan tersebut. Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiannya seperti perasaan, pengalaman, panca indra dan intuisi mempu menangkap alam kehidupannya mengabtraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk Ilmu pengetahuan seperti kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Terminology ilmu pngetahuan ini adalah terminology artificial yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseleruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Dalam bahasa inggris cara memperoleh pengetahuan ini dinamakan dengan Knowledge. Ilmu pengetahuan atau Knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita ketahui seperti filsafat, sosial, seni, beladiri, dan ilmu sains itu sendiri. Jadi sains termasuk kedalam ilmu pengetahuan seperti juga sosial science. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok pengetahuan ini terdapat tiga kriteria yakni:
1.          Apakah obyek yang telah ditelaah dapat membuahkan ilmu pengetahuan, kriteria ini disebut obyek ontologis, kita dapat mengambil contoh sosial yang menelaah hubungan antara manusia dengan benda atau jasa dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara ontologis maka dapat ditetapkan obyek penelaah masing-masing permasalahan.
2.          Bagaimana cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut, kriteria ini disebut dengan landasan epistemologis. Contohnya landasan epistemologis matematika adalah logika deduktif dan landasan epistemologis kebiasaan adalah pengalaman dan akal sehat.
3.          Untuk apa kita mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, atau apa manfaat dari kita mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, kriteria ini disebut dengan landasan aksiologis yang juga dapat dibedakan untuk setiap jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, nilai kegunaan sains pasti berbeda dengan nilai kegunaan ilmu sosial.

Jadi seluruh bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan kedalam kategori ilmu pengetahuan dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakterristik obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Salah satu dari bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1.    Obyek Ontologis : yaitu pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra.
2.    Landasan Epistemologis : metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico hypotetico verifikasi.
3.    Landasan Aksiologis : kemaslahatan umat manusia artinya segenap wujud ilmu pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia.

E. Ilmuwan Dan Cara Kerjanya
Ilmuwan  adalah            seseorang     yang   bertugas        untuk menyederhanakan realitas (Karl Popper: 1961: 42). Cara kerja seorang ilmuwan adalah dengan melakukan pengamatan atau penelitian yang bersifat ilmiah. Ilmiah berarti bersifat ilmu atau memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Sehingga karya­-karya seorang ilmuwan bisasanya disebut dengan karya ilmiah.
Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan mengkaji suatu masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Artinya, karya ilmiah menggunakan metode ilmiah dalam membahas permasalahan, menyajikan kajiannya dengan bahasa baku dan tata tulis ilmiah, serta menggunakan prinsip-prinsip keilmuan yang lain seperti objektif, logis, empiris (berdasarkan fakta), sistematis, lugas, jelas, dan konsisten.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu (Suriasumantri, 1991). Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode itu sendiri merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang terdiri dari langkah-langkah sistematis. Soewardi (1996) menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut adalah:
(1)       identifikasi masalah,
(2)       kerangka berfikir,
(3)       hipotesis,
(4)       disain pengujian hipotesis,
(5)       disain pengumpulan data, dan
(6)       penarikan kesimpulan.
Sedangkan menurut Suriasumantri (1991), langkah-langkah dalam metode ilmiah tersebut adalah:
1.         Perumusan Masalah, yang merupakan pertanyaan-pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.         Penyusunan kerangka berfikir, yaitu argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis           ilmiah yang telah teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang refevan dengan permasalahan.
3.         Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.         Pengujian hipotesis, yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.         Penarikan kesimpulan, yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yaitu mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ifmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis, artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Langkah-Iangkah dalam metode ilmiah sebenarnya
menunjukkan cara berfikir ilmiah yang mencakup penalaran deduksi dan induksi sehingga metode ilmiah dikatakan sebagai langkah deducto-hipotetiko-verifikatif atau logico-hypothetico­verifikasi. Tahap-tahap metode ilmiah sampai ke penyusunan hipotesis merupakan proses deducto hipotetiko, yaitu bagaimana kita menyusun hipotesis secara deduktif dari teori-teori sebelumnya, yang disusun dalam kerangka pemikiran. Teori-teori tersebut adalah sebagai premis (alasan) kita membuat pernyataan khusus dalam bentuk hipotesis. Proses hipotetiko-verifikatif menunjukkan Iangkah-Iangkah pembuktian hipotesis (verifikasi) dengan mengumpulkan fakta-fakta dan menarik kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut. Jadi proses kedua ini merupakan proses berfikir induktif.

F. Implikasi Dan Implementasi Filsafat Ilmu Di Dalam Pengembangan Keilmuan Dan Kepada Cara Kerja Para Ilmuwan
Perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi karena didukung oleh penemuan-penemuan baru yang diawali dengan percobaan-percobaan, baik lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kepedulian terhadap penelitian dan pengembangan. Setiap bidang ilmu pengetahuan telah memiliki kepedulian terhadap penelitian dan pengembangan, dengan metode pendekatan dan cara penelitian masing­masing. Penggunaan metodologi dengan cermat dan sistematis guna menemukan informasi ilmiah maupun teknologi yang baru untuk membuktikan kebenaran hipotetis, agar dapat dirumuskan teori atau proses gejala alam atau sosial (Wahono dalam Lasiyo,2007).
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang mempunyai karateristik tertentu. Meskipun secara metodologi ilmu tidak membedakan antara ilmu‑
 ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya adalah ilmu ekonomi/.
Menurut (Suriasumantri, 2001, 33) bahwa filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu :(1) Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera yang membuahkan pengetahuan, (2) Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? (3) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah­kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional.
Untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut (ontologis)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologis)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Dengan begitu kita akan mudah mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta menempatkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengetahui karateristik ilmu dengan baik, maka bukan saja tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara oftimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya (Suriasumantri, 2001, 35).

1.       Pendekatan Ontologi.
Pendekatan ontologi biasa juga disebut pendekatan metafisis yang membicarakan objek ilmu, hubungan subjek dan subjek. Pada saat manusia berusaha untuk menjawab objek ilmu, objek ilmu meliputi objek material (subject matter) dan objek formal (focus of interest).
Dari segi objek material, maka dapat dibedakan menjadi dua yaitu objek kongkret dan abstrak. Dari perbedaan objek material ilmu tersebut, maka melahirkan dua faham dalam metafisik yaitu faham realisme dan idealisme. Faham realisme menitikberatkan pada kenyataan dalam ojektivitasnya oleh karena itu hakekat yang ada adalah materi atau benda. Kenyataan kongkret dapat diketahui atau dipahami melalui indera manusia. Sebaliknya idealisme berpandangan bahwa kenyataan yang sesungguhnya adalah bersifat rokhani atau kejiwaan, oleh karena bersifat abstrak yang dapat dipahami melalui persepsi mental berupa kegiatan berpikir, nalar maupun intuisi. Landasan metafisis ilmu terletak pada objek, apakah objek itu bersifat kongkret ataukan bersifat abstrak. Objek ilmu juga berpengaruh pada subjek untuk menentukan metode apa yang digunakan untuk memahaminya.
Pendekatan metafisika memiliki peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kontribusi antara lain karena metafisika : (1) mengajarkan cara berpikir cemat dan tidak lelah untuk menj awab persoalan-persoalan yang bersifat teka­teki, (2) adanya tuntutan orisinalitas berpikir untuk mengupayakan penemuan-penemuan baru maupun untuk menguji kebenaran-kebenaran yang pernah ditemukan, (3) memberikan bahan pertimbangan dan pijakan yang kuat terutama dalam praanggapan, (4) memberikan ruang pada perbedaan visi dalam memahami realitas, sehingga dapat menghargai perbedaan pandangan yang muncul dalam mencari solusi problematika (Rizal dalam Lasiyo, 2007: 2).

2.       Pendekatan Epistemologis (Theory of knowledge)
Setiap pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan satu sama lain, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemology ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi dan seterusnya. Jadi bila kita ingin membahas epistemologi ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu (Suriasumantri, 2001, 105)
Inti pendekatan epistemologi adalah mempersoalkan bagaimana proses terjadinya ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode, kebenaran ilmiah. Pemikiran merupakan landasan utama dalam melakukan kegiatan ilmiah yang akan menggabungkan kemampuan akal dengan pengalaman dan data yang diperoleh selama melakukan kegiatan ilmiah.
Dalan hubungan ini muncul dua faham yaitu faham Rasionalisme dan Empirisme. Faham Rasionalisme menekankan pada peranan akal dalam memperoleh pengetahuan. Faham ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal atau rasio. Ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui kegiatan akal. Adapun ciri-ciri pokok faham Rasionalisme yaitu : (1) Adanya pendirian bahwa kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya, (2) Adanya suatu penjabaran secara logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki tersebut di atas (Koento Wibisono dan Misnal munir dalam Lasiyo, 2007:2).
Faham rasionalisme berasal dari faham idealisme, faham ini menggunakan metode deduktif, akal, apriori dan koherensi. Adapun faham yang menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia dinamakan faham Empirisme, faham ini berpandangan bahwa pengalaman manusia meliputi pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Faham empirisme bersumber dari faham realisme yang menggunakan metode induktif dalam mencari kebenaran ilmiah. Kedua faham ini, tampak perbedaan yang sangat mencolok, sehingga ada usaha untuk mempersatukan kedua pandangan tersebut, maka muncul faham Kritisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Faham kritisme berpandangan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh adanya kerj asama antara bahan­bahan yang bersifat pengalaman inderawi yang kemudian diolah oleh akal sehingga terdapat hubungan sebab akibat. Kebenaran ilmiah memerlukan data dan fakta yang akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah atau metodologi yang digambarkan sebagai the rule of the game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah berakhir (Popper, 1983, 103).
Manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan memiliki sarana berpikir ilmiah yang meliputi: logika, matematika, statistika dan bahasa. Logika sering diartikan sebagai pengetahuan tentang kaidah berpikir atau yang berusaha untuk menarik simpulan melalui kaidah-kaidah formal yang absah. Logika mempelajari argumen, yakni wacana yang terdiri atas pernyataan simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan lain yang disebut premis (Adjat Sakri dalam Lasiyo, 2007: 4). Logika dapat diartikan sebagai pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata yang dinyatakan dalam bahasa, dengan logika manusia bernalar. Penalaran (reasoning) ialah proses pengambilan simpulan (conclusion, inference) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) ataupun yang dianggap bahan bukti atau petunjuk (Anton M. Moeliono dalam Lasiyo, 2007: 4).
Matematika adalah merupakan bahasa artifisial yang bersifat cermat dan terbebas dari unsur emosi. Matematika memberi sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan yang sekaligus sarana berpikir deduktif (penalaran deduktif). Penalaran deduktif merupakan suatu proses berpikir yang bertolak dari pemikiran yang bersifat umum menuju pada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu simpulan yang bersifat khusus.
Sarana berpikir ilmiah yang ketiga adalah statistika. Statistika membantu kita dalam penarikan simpulan secara induktif dari fakta empiris. Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan dari yang bersifat khusus menuju kepada simpulan yang bersifat umum, penentuan kaidah umum berdasarkan hal-hal khusus. Sarana berpikir ilmiah yang keempat adalah bahasa, dengan adanya bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Malalui transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sesuatu objek tertentu meskipun objek itu secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir itu dilakukan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, dengan bahasa dimungkinkan untuk berpikir secara teratur dan sitematis.

3.       Pendekatan Aksiologis
Melalui pendekatan aksiologis kita dimungkinkan untuk menjawab permasalahan menyangkut pertanyaan untuk apa pengetahuan itu?. Bagaimana hubungan antara ilmu dan nilai (moral)?. Inti dari pendekatan aksiologis adalah menjawab apakah manfaat ilmu pengetahuan dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia serta pengembangan ilmu itu sendiri. Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia atau untuk memanusiakan manusia. Jawaban atas pertanyaan bagaimana hubungan antara ilmu dan nilai, masih menjadi perdebatan diantara para ahli. Pandangan pertama menyatakan bahwa ilmu untuk ilmu, dalam arti ilmu bebas nilai. Pandangan kedua menyatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Dua kelompok pendapat di atas didukung oleh aliran Positivisme dan Kritik Idiologi.
Aliran positivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan akan dapat berkembang dengan pesat apabila tidak ada ikatan nilai apapun kecuali nilai ilmiah. Artinya pengembangan ilmu pengetahuan harus didasarkan atas nilai ilmiah yang mengandung arti bahwa ilmu pengertahuan itu memberikan hasil yang dipercaya, mempunyai dasar tertentu, objektif dan dapat diuji secara kritis.
Sebaliknya aliran Kritik Idiologi menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hendaknya diarahkan pada usaha pencapaian tujuan idiologi, karena terdapat hubungan yang erat antara ilmu dan nilai (moral). Ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan berbahaya pada eksistensi ilmu itu sendiri dan bagi kehidupan manusia. Untuk menjembatani perbedaan kedua aliran tersebut maka muncul aliran otonomi relasional yang menyatakan bahwa ilmu seharusnya tetap berkembang maju, tapi namun perlu dikaitkan dengan suatu tujuan yang memerlukan tanggung jawab, karena pada dasarnya ilmu merupakan alat bagi manusia didalam usaha memenuhi kebutuhannya. Ilmu hendaknya dapat memberikan jaminan agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Ilmu berkembang secara otonom sehingga ia dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.

4.       Cara kerja para ilmuan
Dewasa ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai proses, produk dan paradigma etika. Sebagai suatu proses ilmu pengetahuan merupakan sebuah kegiatan sosial dalam rangka memahami alam semesta beserta isinya, baik sebagaimana adanya maupun seharusnya. Sebagai suatu produk mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan diperoleh/dihasilkan melalui metodologi keilmuan yang menjadi milik umum sehingga hasilnya dapat berupa rumusan-rumusan atau pernyataan-pernyataan yang perlu mendapat persetujuan masyarakat ilmiah dan kebenarannya terbuka untuk dilakukan penguj ian. Sebagai paradigma etika berarti bahwa ilmu pengetahuan memiliki seperangkat nilai yang meliputi universialisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisme yang terorganisir. Hal ini mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan tidak begitu saja menerima kebenaran akan tetapi perlu dilakukan pengujian dan pengkajian.
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka dalam pengembangan ilmu/teori  seyogiyanya mengacu pada pendekatan metafisis, epistemologis dan aksiologis untuk mencari jawaban terhadap persoalan pengembangan ilmu dan memberikan landasan yang bagi eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat mengalami perubahan yang dinamis yang selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang merupakan tantangan dan peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini maka dapat disimak pada gambar 3.




Usaha untuk menemukan ilmu pengetahuan yang baru harus mengacu pada filsafat ilmu yang didalamnya ada tiga pendekatan yaitu :
(1)       Pendekatan metafisis yang mengkaji apa objek ilmu? dan apa hakekat pengetahuan?.
(2)       Pendekatan epistemologis yang mengkaji metodologi keilmuan atau langkah-langkah ilmiah dalam menemukan ilmu pengetahuan baru yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
(3)       Pendekatan aksiologis yang mengkaji manfaat ilmu pengetahuan baru terhadap kemaslahatan umat manusia, bangsa dan negara sesuai dengan etika dan moral yang berkembang dalam masyarakat suatu bangsa. Apabila ilmu pengetahuan baru tersebut sangat bermanfaat pada usaha memanusiakan manusia, bangsa dan negara, maka ilmu pengetahuan tersebut dapat diterima sebagai teori baru yang dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus menerus.
Problem-problem filsafat bilamana digolongkan ternyata berkisar pada enam hal pokok, yaitu: pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Berdasarkan enam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi dalam enam cabang pokok, yaitu epistemology (teori pengetahuan), metafisika (teori mengenai apa yang ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori penyimpulan), etika (aj aran moralitas), dan estetika (teori keindahan).
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat, problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolong-golongkan menjadi enam kelompok sesuai dengan cabang-cabang pokok filsafat itu, yaitu: 1) Problem-problem epistemologis tentang ilmu; 2) Problem-problem metafisis tentang ilmu; 3) Problem-problem metodologis tentang ilmu; 4) Problem-problem logis tentang ilmu; 5) Problem-problem etis tentang ilmu; 6) Problem-problem estetis tentang ilmu.
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Implikasi dan implementasi filsafat ilmu di dalam
pengembangan keilmuan sangatlah besar, karena untuk mengembangkan keilmuan diperlukan pemikiran- pemikiran baru yang inovatif.
2.    Implikasi dan implementasi fifsafat ilmu dan kepada cara kerja para ilmuwan sangatlah berpengaruh terhadap cara kerja para ilmuwan karena dengan adanya peran filsafat ilmu dan keterlibatan ilmuwan itu sendiri, maka cara kerja ilmuwan akan Iebih efektif dan maksimal.

B.    Kritik dan Saran
Mungkin inilah yang dapat disampaikan dari kelompok kami, meskipun penulisan ini jauh dari sempurna. Masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karena kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. kami juga membutuhkan saran/ kritikan dari pembaca agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah landasan pendidikan, yang telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan diri kami sendiri dan untuk negara dan bangsa.




DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam, 2004, Bandung: Pustaka Setia
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2005, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, 1998, Jakarta: IKAPI
http://ardianipuspa.blogdetik.com/2011/03/02/ilmuwan-dan-cara-kerianya­serta-perbedaan-antara-penelitian-ilmiah-dan-tidak-ilmiah/ (Di akses pada tanggal 25 September 2013 pukul 11:18)
http://filsafat.kompasiana.com/2011/10/13/penerapan-filsafat-ilmu-dalam­pengembangan-keilmuan-401180.html (Di akses pada tanggal 24 September 2013 pukul 3:08)
http://www.artikata.com/arti-330543-implikasi.html (Di akses pada tanggaf 25 September 2013 pukul 11:24)
http://www.artikata.com/arti-330542-implementasi.html (Di akses pada tanggal 25 September 2013 pukul 11:24)
http://www.goocile.co.id/search?sourceid=chrome&ie=UTF­8&c=%E2%80°/0A2+hftp%3A%2F%2Ffilsafat-ilmu.bloaspot.com (Di akses pada tanggal 27 September 2013 pukul 11:15)
http://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-islami/penciertian-dan-ruanci­lingkup-filsafat-ilmu/ (Di akses pada tanggal 27 September 2013 pukul 11:16)