BAB I
PENDAHULUAN
A.
Permasalahan
Konsep dasar fifsafat ilmu adalah kedudukan, fokus,
cakupan, tujuan dan fungsi serta kaitannya
dengan impfementasi kehidupan sehari-hari.
Berikutnya dibahas pula tentang karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu,
filsafat dan agama. Pembahasan filsafat ilmu juga
mencakup sistematika, permasalahan, keragaman
pendekatan dan paradigma (pofa pikir) dalam
pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan
aksiologis. Selanjutnya dikaji mengenai makna, implikasi
dan impfementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan keilmuan dan kepada cara kerja para
ilmuwan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, balk pendekatan kuantitatif dan kualitatif, maupun perpaduan kedua-duanya.
B.
Tujuan
Dalam pokok bahasan ini akan diuraikan:
1.
Bagaimana Implikasi dan implementasi filsafat
ilmu di dalam pengembangan keilmuan.
2.
Bagaimana Implikasi dan
impfementasi filsafat ilmu dan kepada cara
kerja para ilmuwan.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Implikasi
Beradasarkan kamus besar Bahasa Indonesia implikasi
diartikan sebagai keterlibatan atau keadaan
terlibat: manusia sbg objek percobaan atau
penelitian semakin terasa manfaat dan kepentingannya.
B.
Implementasi
Beradasarkan kamus besar Bahasa Indonesia implementasi diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.
C. Fifsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah
fainnya. Menurut The Liang Gie (1999),
filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada
hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh
antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari
tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama
tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari
pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu
berubah.
Dalam perkembangannya fifsafat ilmu
mengarahkan pandangannya pada
strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu,
tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan
kembali secara mendasar
tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti
ilmu-ilmu kealaman. Dengan
demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984),
filsafat dari sesuatu segi dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu "ada" yang
dijadikan objek sasarannya, sehingga
filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan
ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984),
mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah
keyakinan ontofogik, yaitu suatu keyakinan
yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah "ada" (being,
sein, het zijn) itu. lnilah awal-mula
sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat
menentukan dalam pemilihan
epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak
dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi
yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan
dalam seseorang mengembangkan ilmu
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi
dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu,
dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita
akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya,
struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan
realitas in conreto sedemikian rupa sehingga
seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan
serta kerabunan intelektualnya.
D. Filsafat Ilmu Dalam
Pengembangan Keilmuan
Filsafat ilmu
merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dalam hal ini filsafat ilmu
berperan sebagai pengkaji berbagai hakikat keilmuan. Banyak cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang menjadi sebuah bahan kajian oleh filsafat ilmu, dalam
mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan filsafat ilmu mempunyai beberapa macam
cara diantaranya yaitu ontologi, terminologi dan aksiologi. Dari beberapa cara
tersebut masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda, ontologi
berfungsi untuk mengetahui apa yang dikaji dalam ilmu pengetahuan tersebut,
sedangkan terminologi berfungsi untuk mengetahui bagaimana kita memperoleh ilmu
pengetahuan tersebut, dan yang terakhir yaitu aksiologi berfungsi untuk
mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan tersebut. Manusia dengan segenap
kemampuan kemanusiannya seperti perasaan, pengalaman, panca indra dan intuisi
mempu menangkap alam kehidupannya mengabtraksikan tangkapan tersebut dalam
dirinya dalam berbagai bentuk Ilmu pengetahuan seperti kebiasaan, akal sehat,
seni, sejarah dan filsafat. Terminology ilmu pngetahuan ini adalah terminology
artificial yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya
diartikan sebagai keseleruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha
untuk mengetahui sesuatu. Dalam bahasa inggris cara memperoleh pengetahuan ini
dinamakan dengan Knowledge. Ilmu pengetahuan atau Knowledge ini merupakan
terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita ketahui seperti
filsafat, sosial, seni, beladiri, dan ilmu sains itu sendiri. Jadi sains
termasuk kedalam ilmu pengetahuan seperti juga sosial science. Untuk membedakan
tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok pengetahuan ini terdapat tiga kriteria
yakni:
1.
Apakah
obyek yang telah ditelaah dapat membuahkan ilmu pengetahuan, kriteria ini
disebut obyek ontologis, kita dapat mengambil contoh sosial yang menelaah
hubungan antara manusia dengan benda atau jasa dalam hal memenuhi kebutuhan
hidupnya. Secara ontologis maka dapat ditetapkan obyek penelaah masing-masing
permasalahan.
2.
Bagaimana
cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut, kriteria ini
disebut dengan landasan epistemologis. Contohnya landasan epistemologis
matematika adalah logika deduktif dan landasan epistemologis kebiasaan adalah
pengalaman dan akal sehat.
3.
Untuk
apa kita mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, atau apa manfaat dari kita
mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, kriteria ini disebut dengan landasan
aksiologis yang juga dapat dibedakan untuk setiap jenis ilmu pengetahuan.
Contohnya, nilai kegunaan sains pasti berbeda dengan nilai kegunaan ilmu
sosial.
Jadi seluruh
bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan kedalam kategori ilmu pengetahuan
dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakterristik obyek
ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Salah satu dari
bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1. Obyek Ontologis : yaitu pengalaman
manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat
yang membantu kemampuan panca indra.
2. Landasan Epistemologis : metode
ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dengan pengajuan hipotesis atau
yang disebut logico hypotetico verifikasi.
3. Landasan Aksiologis : kemaslahatan
umat manusia artinya segenap wujud ilmu pengetahuan itu secara moral ditujukan
untuk kebaikan hidup manusia.
E. Ilmuwan
Dan Cara Kerjanya
Ilmuwan adalah seseorang yang bertugas untuk menyederhanakan realitas (Karl Popper: 1961: 42).
Cara kerja seorang ilmuwan adalah
dengan melakukan pengamatan atau penelitian
yang bersifat ilmiah. Ilmiah berarti bersifat ilmu atau memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Sehingga
karya-karya seorang ilmuwan bisasanya disebut dengan karya ilmiah.
Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat
dan mengkaji suatu masalah tertentu
dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Artinya, karya ilmiah menggunakan metode ilmiah dalam membahas permasalahan, menyajikan kajiannya
dengan bahasa baku dan tata tulis
ilmiah, serta menggunakan prinsip-prinsip keilmuan yang lain seperti objektif, logis, empiris (berdasarkan fakta), sistematis, lugas, jelas, dan
konsisten.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu (Suriasumantri, 1991). Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode
ilmiah. Metode itu sendiri merupakan suatu prosedur
atau cara untuk mengetahui
sesuatu yang terdiri dari langkah-langkah sistematis. Soewardi (1996) menjelaskan bahwa
langkah-langkah tersebut adalah:
(1)
identifikasi
masalah,
(2)
kerangka
berfikir,
(3)
hipotesis,
(4)
disain
pengujian hipotesis,
(5)
disain
pengumpulan data, dan
(6)
penarikan
kesimpulan.
Sedangkan menurut Suriasumantri (1991), langkah-langkah
dalam metode ilmiah tersebut adalah:
1.
Perumusan Masalah, yang
merupakan pertanyaan-pertanyaan mengenai
obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.
Penyusunan kerangka
berfikir, yaitu argumentasi yang menjelaskan
hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor
yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang refevan dengan permasalahan.
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang refevan dengan permasalahan.
3.
Perumusan hipotesis yang
merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.
Pengujian hipotesis, yang
merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis
tersebut atau tidak.
5.
Penarikan kesimpulan,
yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang
cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima.
Sebaliknya, sekiranya dalam proses pengujian
tidak terdapat fakta yang cukup mendukung
hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis
yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yaitu mempunyai kerangka
penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ifmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus
ditafsirkan secara pragmatis,
artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Langkah-Iangkah dalam metode ilmiah
sebenarnya
menunjukkan cara berfikir ilmiah yang
mencakup penalaran deduksi dan
induksi sehingga metode ilmiah dikatakan sebagai langkah deducto-hipotetiko-verifikatif
atau logico-hypotheticoverifikasi. Tahap-tahap metode ilmiah sampai ke
penyusunan hipotesis merupakan proses deducto hipotetiko, yaitu bagaimana kita menyusun hipotesis secara deduktif dari
teori-teori sebelumnya, yang disusun
dalam kerangka pemikiran. Teori-teori tersebut
adalah sebagai premis (alasan) kita membuat pernyataan khusus dalam bentuk hipotesis. Proses
hipotetiko-verifikatif menunjukkan
Iangkah-Iangkah pembuktian hipotesis (verifikasi) dengan mengumpulkan fakta-fakta dan menarik
kesimpulan umum berdasarkan
fakta-fakta empiris tersebut. Jadi proses kedua ini merupakan proses berfikir induktif.
F.
Implikasi Dan Implementasi Filsafat Ilmu Di Dalam Pengembangan Keilmuan
Dan Kepada Cara Kerja Para Ilmuwan
Perkembangan pesat dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi terjadi karena didukung oleh penemuan-penemuan baru
yang diawali dengan percobaan-percobaan, baik lembaga pemerintah maupun swasta
yang memiliki kepedulian terhadap penelitian dan pengembangan. Setiap bidang ilmu
pengetahuan telah memiliki kepedulian terhadap
penelitian dan pengembangan, dengan
metode pendekatan dan cara penelitian masingmasing. Penggunaan metodologi dengan cermat dan sistematis
guna menemukan informasi ilmiah maupun teknologi yang baru untuk
membuktikan kebenaran hipotetis, agar dapat dirumuskan teori atau
proses gejala alam atau sosial (Wahono dalam Lasiyo,2007).
Filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang mempunyai karateristik
tertentu. Meskipun secara metodologi ilmu tidak membedakan antara ilmu‑
ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu
sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan
filsafat ilmu-ilmu sosial termasuk di
dalamnya adalah ilmu ekonomi/.
Menurut (Suriasumantri, 2001, 33)
bahwa filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang
ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu :(1) Objek apa yang ditelaah
ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera yang membuahkan pengetahuan, (2) Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara/teknik sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? (3) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidahkaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional.
Untuk membedakan jenis pengetahuan
yang satu dengan pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat dikemukakan
adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut
(ontologis)? Bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologis)? Serta untuk
apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban
dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita membedakan berbagai jenis pengetahuan
yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Dengan begitu kita akan mudah
mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta menempatkan
mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan
kita. Tanpa mengetahui karateristik ilmu dengan baik, maka bukan saja tidak dapat
memanfaatkan kegunaannya secara oftimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya
(Suriasumantri, 2001, 35).
1.
Pendekatan
Ontologi.
Pendekatan ontologi biasa juga
disebut pendekatan metafisis yang membicarakan objek ilmu,
hubungan subjek dan subjek. Pada saat manusia berusaha untuk menjawab objek ilmu,
objek ilmu meliputi objek material (subject matter) dan objek formal (focus
of interest).
Dari segi objek material, maka dapat dibedakan
menjadi dua yaitu objek kongkret dan abstrak. Dari perbedaan objek
material ilmu tersebut, maka melahirkan dua faham dalam metafisik
yaitu faham realisme dan idealisme. Faham realisme menitikberatkan pada kenyataan
dalam ojektivitasnya oleh karena itu hakekat yang ada adalah materi atau benda. Kenyataan
kongkret dapat diketahui atau dipahami melalui indera manusia. Sebaliknya idealisme berpandangan
bahwa kenyataan yang sesungguhnya adalah bersifat
rokhani atau kejiwaan, oleh karena
bersifat abstrak yang dapat dipahami melalui persepsi mental
berupa kegiatan berpikir, nalar maupun intuisi. Landasan metafisis ilmu
terletak pada
objek, apakah objek itu bersifat kongkret ataukan bersifat abstrak. Objek ilmu
juga berpengaruh pada subjek
untuk menentukan metode apa yang digunakan untuk memahaminya.
Pendekatan metafisika memiliki
peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memberikan kontribusi
antara lain karena metafisika : (1) mengajarkan cara berpikir cemat dan
tidak lelah untuk menj awab persoalan-persoalan yang bersifat tekateki, (2) adanya tuntutan
orisinalitas berpikir untuk mengupayakan penemuan-penemuan baru maupun untuk menguji
kebenaran-kebenaran yang pernah ditemukan, (3) memberikan bahan pertimbangan
dan pijakan yang kuat terutama dalam praanggapan, (4)
memberikan ruang pada perbedaan visi dalam memahami realitas, sehingga dapat menghargai perbedaan pandangan yang muncul dalam mencari
solusi problematika (Rizal dalam Lasiyo, 2007: 2).
2.
Pendekatan
Epistemologis (Theory
of knowledge)
Setiap pengetahuan memiliki ciri-ciri
yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi)
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan satu sama lain, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemology ilmu
dan epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi dan seterusnya. Jadi bila kita ingin membahas epistemologi
ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu (Suriasumantri,
2001, 105)
Inti pendekatan epistemologi adalah
mempersoalkan bagaimana proses terjadinya ilmu
pengetahuan, termasuk didalamnya
sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode, kebenaran
ilmiah. Pemikiran merupakan landasan
utama dalam melakukan kegiatan ilmiah yang akan menggabungkan kemampuan akal dengan pengalaman
dan data yang diperoleh selama
melakukan kegiatan ilmiah.
Dalan hubungan ini muncul dua faham
yaitu faham Rasionalisme dan Empirisme. Faham
Rasionalisme menekankan pada peranan
akal dalam memperoleh pengetahuan. Faham ini berpandangan bahwa sumber
pengetahuan manusia adalah akal atau rasio. Ilmu
pengetahuan yang memenuhi syarat
adalah yang diperoleh melalui kegiatan akal. Adapun ciri-ciri
pokok faham Rasionalisme yaitu : (1) Adanya pendirian bahwa kebenaran yang hakiki
itu secara langsung dapat diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya, (2)
Adanya suatu penjabaran secara logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan
pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang pengetahuan berdasarkan
atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki tersebut di atas (Koento
Wibisono dan Misnal munir dalam Lasiyo, 2007:2).
Faham rasionalisme berasal dari
faham idealisme, faham ini menggunakan metode
deduktif, akal, apriori dan
koherensi. Adapun faham yang menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia
dinamakan faham Empirisme, faham ini berpandangan bahwa pengalaman
manusia meliputi pengalaman lahir yang menyangkut
dunia dan pengalaman batin yang
menyangkut pribadi manusia. Faham empirisme bersumber dari faham realisme yang menggunakan
metode induktif dalam mencari kebenaran ilmiah. Kedua faham ini, tampak perbedaan yang
sangat mencolok, sehingga ada usaha untuk mempersatukan kedua
pandangan tersebut, maka muncul faham Kritisme yang dipelopori oleh
Immanuel Kant. Faham kritisme berpandangan bahwa
pengetahuan pada dasarnya adalah
hasil yang diperoleh adanya kerj asama antara bahanbahan yang bersifat pengalaman
inderawi yang kemudian diolah oleh akal sehingga
terdapat hubungan sebab akibat.
Kebenaran ilmiah memerlukan data dan fakta yang
akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah
atau metodologi yang digambarkan sebagai the rule of the game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah berakhir (Popper,
1983, 103).
Manusia dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan memiliki sarana berpikir ilmiah yang
meliputi: logika, matematika,
statistika dan bahasa. Logika sering diartikan sebagai pengetahuan
tentang kaidah berpikir atau yang berusaha untuk menarik simpulan melalui kaidah-kaidah
formal yang absah. Logika mempelajari argumen, yakni wacana yang terdiri
atas pernyataan simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan lain yang disebut
premis (Adjat Sakri dalam Lasiyo, 2007: 4). Logika dapat diartikan sebagai pertimbangan
akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata yang dinyatakan dalam bahasa,
dengan logika manusia bernalar. Penalaran (reasoning) ialah proses pengambilan
simpulan (conclusion, inference) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) ataupun yang dianggap
bahan bukti atau petunjuk (Anton M. Moeliono dalam Lasiyo, 2007: 4).
Matematika adalah merupakan bahasa
artifisial yang bersifat cermat dan terbebas dari
unsur emosi. Matematika memberi
sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan yang sekaligus
sarana berpikir deduktif (penalaran deduktif). Penalaran deduktif merupakan suatu
proses berpikir yang bertolak dari pemikiran yang bersifat umum menuju pada suatu
proposisi baru yang berbentuk suatu simpulan yang bersifat khusus.
Sarana berpikir ilmiah yang ketiga
adalah statistika. Statistika membantu kita dalam
penarikan simpulan secara induktif
dari fakta empiris. Penalaran induktif adalah
penarikan kesimpulan dari yang
bersifat khusus menuju kepada simpulan yang bersifat umum,
penentuan kaidah umum berdasarkan hal-hal khusus. Sarana berpikir ilmiah yang keempat
adalah bahasa, dengan adanya bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak
dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang
bersifat abstrak. Malalui transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sesuatu
objek tertentu meskipun objek itu secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan
berpikir itu dilakukan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan
manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, dengan bahasa dimungkinkan
untuk berpikir secara teratur dan sitematis.
3.
Pendekatan
Aksiologis
Melalui pendekatan aksiologis kita
dimungkinkan untuk menjawab permasalahan menyangkut pertanyaan untuk apa
pengetahuan itu?. Bagaimana hubungan antara ilmu
dan nilai (moral)?. Inti dari
pendekatan aksiologis adalah menjawab apakah manfaat ilmu pengetahuan
dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia serta pengembangan ilmu itu
sendiri. Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia
atau untuk memanusiakan manusia. Jawaban atas pertanyaan bagaimana hubungan
antara ilmu dan nilai, masih menjadi perdebatan diantara para ahli. Pandangan pertama
menyatakan bahwa ilmu untuk ilmu, dalam arti ilmu bebas nilai. Pandangan kedua
menyatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Dua kelompok pendapat di atas didukung
oleh aliran Positivisme dan Kritik Idiologi.
Aliran positivisme memandang bahwa
ilmu pengetahuan akan dapat berkembang dengan
pesat apabila tidak ada ikatan nilai
apapun kecuali nilai ilmiah. Artinya pengembangan
ilmu pengetahuan harus didasarkan
atas nilai ilmiah yang mengandung arti bahwa ilmu
pengertahuan itu memberikan hasil
yang dipercaya, mempunyai dasar tertentu, objektif dan
dapat diuji secara kritis.
Sebaliknya aliran Kritik Idiologi
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hendaknya diarahkan pada usaha pencapaian
tujuan idiologi, karena terdapat hubungan yang erat antara
ilmu dan nilai (moral). Ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan berbahaya pada eksistensi ilmu itu
sendiri dan bagi kehidupan manusia. Untuk menjembatani perbedaan kedua aliran tersebut maka muncul
aliran otonomi relasional yang menyatakan bahwa
ilmu seharusnya tetap berkembang
maju, tapi namun perlu dikaitkan dengan suatu tujuan yang
memerlukan tanggung jawab, karena pada dasarnya ilmu merupakan alat bagi manusia
didalam usaha memenuhi kebutuhannya. Ilmu hendaknya dapat memberikan jaminan
agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Ilmu
berkembang secara otonom sehingga ia dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
4.
Cara
kerja para ilmuan
Dewasa ini ilmu pengetahuan
dipandang sebagai proses, produk dan paradigma etika. Sebagai
suatu proses ilmu pengetahuan merupakan sebuah kegiatan sosial dalam rangka memahami
alam semesta beserta isinya, baik sebagaimana adanya maupun seharusnya. Sebagai
suatu produk mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan diperoleh/dihasilkan melalui
metodologi keilmuan yang menjadi milik umum sehingga hasilnya dapat berupa rumusan-rumusan
atau pernyataan-pernyataan yang perlu mendapat persetujuan masyarakat
ilmiah dan kebenarannya terbuka untuk dilakukan penguj ian. Sebagai paradigma
etika berarti bahwa ilmu pengetahuan memiliki seperangkat nilai yang meliputi
universialisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisme yang
terorganisir. Hal ini mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan tidak
begitu saja menerima kebenaran akan tetapi perlu dilakukan
pengujian dan pengkajian.
Berdasarkan pada uraian tersebut,
maka dalam pengembangan ilmu/teori seyogiyanya mengacu pada pendekatan metafisis,
epistemologis dan aksiologis untuk mencari jawaban terhadap persoalan
pengembangan ilmu dan memberikan landasan yang
bagi eksistensi ilmu pengetahuan itu
sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat
mengalami perubahan yang dinamis yang
selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang merupakan tantangan dan peluang
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini maka
dapat disimak pada gambar 3.
Usaha untuk menemukan ilmu
pengetahuan yang baru harus mengacu pada filsafat ilmu yang
didalamnya ada tiga pendekatan yaitu :
(1)
Pendekatan
metafisis yang mengkaji apa objek ilmu? dan apa hakekat
pengetahuan?.
(2)
Pendekatan
epistemologis yang mengkaji metodologi keilmuan atau langkah-langkah ilmiah
dalam menemukan ilmu pengetahuan baru yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
(3) Pendekatan aksiologis
yang mengkaji manfaat ilmu pengetahuan baru terhadap kemaslahatan umat manusia,
bangsa dan negara sesuai dengan etika dan moral yang berkembang dalam masyarakat
suatu bangsa. Apabila ilmu pengetahuan baru tersebut sangat bermanfaat pada
usaha memanusiakan manusia, bangsa dan negara, maka ilmu pengetahuan tersebut dapat diterima sebagai
teori baru yang dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus menerus.
Problem-problem filsafat bilamana
digolongkan ternyata berkisar pada enam hal pokok, yaitu:
pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Berdasarkan
enam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi dalam enam cabang
pokok, yaitu epistemology (teori pengetahuan), metafisika (teori mengenai apa yang
ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori penyimpulan), etika (aj
aran moralitas),
dan estetika (teori keindahan).
Oleh karena filsafat ilmu merupakan
suatu bagian dari filsafat, problem-problem dalam
filsafat ilmu secara sistematis juga
dapat digolong-golongkan menjadi enam kelompok
sesuai dengan cabang-cabang pokok
filsafat itu, yaitu: 1) Problem-problem epistemologis tentang ilmu; 2)
Problem-problem metafisis tentang ilmu; 3) Problem-problem metodologis tentang ilmu; 4)
Problem-problem logis tentang ilmu; 5) Problem-problem etis tentang ilmu; 6) Problem-problem estetis tentang ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Implikasi
dan implementasi filsafat ilmu di dalam
pengembangan keilmuan sangatlah besar,
karena untuk mengembangkan keilmuan
diperlukan pemikiran- pemikiran baru yang inovatif.
2.
Implikasi
dan implementasi fifsafat ilmu dan kepada cara kerja para ilmuwan sangatlah berpengaruh terhadap
cara kerja para ilmuwan
karena dengan adanya peran filsafat ilmu dan keterlibatan ilmuwan itu sendiri, maka cara kerja ilmuwan
akan Iebih efektif dan maksimal.
B.
Kritik
dan Saran
Mungkin inilah yang dapat
disampaikan dari kelompok
kami, meskipun penulisan ini jauh dari sempurna. Masih banyak kesalahan dari
penulisan kelompok kami, karena kami
manusia yang adalah tempat salah dan dosa.
kami juga membutuhkan saran/ kritikan dari pembaca agar bisa menjadi
motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga
mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah landasan pendidikan, yang telah
memberi kami tugas kelompok demi kebaikan diri kami sendiri dan untuk negara dan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, 2004, Bandung: Pustaka Setia
Jerome
R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jujun
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2005, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, 1998, Jakarta: IKAPI
http://ardianipuspa.blogdetik.com/2011/03/02/ilmuwan-dan-cara-kerianyaserta-perbedaan-antara-penelitian-ilmiah-dan-tidak-ilmiah/ (Di
akses pada tanggal 25 September 2013 pukul
11:18)
http://filsafat.kompasiana.com/2011/10/13/penerapan-filsafat-ilmu-dalampengembangan-keilmuan-401180.html (Di akses pada tanggal 24 September 2013 pukul 3:08)
http://www.artikata.com/arti-330543-implikasi.html (Di akses pada tanggaf 25 September 2013 pukul 11:24)
http://www.artikata.com/arti-330542-implementasi.html (Di
akses pada tanggal 25 September 2013 pukul
11:24)
http://www.goocile.co.id/search?sourceid=chrome&ie=UTF8&c=%E2%80°/0A2+hftp%3A%2F%2Ffilsafat-ilmu.bloaspot.com (Di akses pada
tanggal 27 September 2013 pukul 11:15)
http://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-islami/penciertian-dan-ruancilingkup-filsafat-ilmu/
(Di akses pada tanggal 27 September 2013 pukul 11:16)